Kalender Jawa, dengan sebutan lain "Pawukon" atau "Primbon Jawa," merupakan sebuah penanggalan tradisional yang diakui di kalangan masyarakat Jawa, khususnya di Indonesia. Sistem penanggalan ini mencerminkan keragaman budaya dan kedalaman tradisi yang telah melibatkan masyarakat Jawa selama berabad-abad. Kalender Jawa bukan hanya sekadar alat untuk menghitung waktu, tetapi juga memuat makna dan tradisi yang mendalam yang melingkupi berbagai aspek kehidupan.
Akar Sejarah dan Konstruksi Kalender Jawa
Kalender Jawa mempunyai asal usul yang kompleks, sebagian besar dipengaruhi oleh warisan budaya Hindu-Buddha. Ini menghasilkan sistem penanggalan yang sangat berbeda dari kalender Gregorian (Masehi) yang umum digunakan di seluruh dunia saat ini.
Struktur kalender Jawa terdiri dari dua komponen utama yang bekerja bersama:
- Pasaran: Pasaran merujuk pada penanggalan mingguan dalam kalender Jawa, terdiri dari lima pasaran: Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Setiap pasaran memiliki karakteristik unik dan makna yang dihubungkan dengan keberuntungan serta tindakan yang dilakukan pada hari-hari tersebut. Siklus pasaran berputar, sehingga setiap minggu dimulai dengan pasaran tertentu dan berlanjut ke pasaran-pasaran berikutnya.
- Weton: Weton adalah kombinasi antara pasaran dengan sistem penanggalan harian dalam kalender Jawa. Setiap harinya memiliki asosiasi dengan dua siklus waktu: Pancawara (lima hari) dan Saptawara (tujuh hari). Kombinasi dari pasaran, Pancawara, dan Saptawara menghasilkan beragam weton yang dianggap memiliki pengaruh pada kehidupan seseorang. Masyarakat Jawa percaya bahwa weton tertentu bisa membawa keberuntungan atau menghindari risiko tertentu.
Makna dan Dampak Kalender Jawa dalam Kehidupan Harian
Kalender Jawa memiliki peranan sentral dalam budaya serta kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Beberapa makna dan dampak yang dihasilkan antara lain:
- Aspek Keagamaan dan Kepercayaan: Kalender Jawa kerap digunakan dalam rangkaian upacara keagamaan, termasuk pernikahan, pertunangan, dan ritual keagamaan lainnya. Masyarakat meyakini bahwa memilih tanggal yang baik berdasarkan kalender Jawa dapat membawa berkah serta keberhasilan dalam peristiwa tersebut.
- Perencanaan Pertanian: Di komunitas agraris, kalender Jawa memiliki peranan krusial dalam merencanakan aktivitas pertanian. Penentuan waktu tanam, panen, dan berbagai peristiwa pertanian lainnya cenderung mengikuti jadwal kalender Jawa.
- Pembawa Warisan Budaya: Penggunaan kalender Jawa merupakan salah satu cara untuk meneruskan dan memelihara warisan budaya. Lewat penerapan kalender ini, tradisi, cerita rakyat, serta nilai-nilai budaya dapat dilestarikan dari generasi ke generasi.
- Perayaan Budaya dan Festival: Kalender Jawa menandai berbagai festival dan perayaan budaya, seperti Nyepi (tahun baru Jawa) dan Festival Sekaten. Peristiwa-peristiwa ini erat terkait dengan ritme kalender Jawa.
Perhitungan Waktu dan Tradisi Kultural yang Kaya
Kalender Jawa, suatu sistem penanggalan yang unik dan berasal dari budaya Jawa, menggabungkan periode peredaran bulan, mingguan, dan pasaran. Tujuannya adalah untuk menciptakan rumusan yang mudah dipahami oleh masyarakat luas dengan cara yang sederhana. Metode perhitungan kalender ini melibatkan siklus 8 tahun yang dikenal sebagai "windu." Dalam setiap windu, pergantian tahun selalu jatuh pada hari-hari tertentu, membentuk pola yang berulang di windu berikutnya.
# | Nama tahun | tanggal 1 Sura jatuh pada hari | Hari |
---|---|---|---|
1 | Alip | Selasa Pon | 354 |
2 | Ehé | Sabtu Pahing | 355 |
3 | Jimawal | Kamis Pahing | 354 |
4 | Jé | Senin Legi | 354 |
5 | Dal | Jumat Kliwon | 355 |
6 | Bé | Rabu Kliwon | 354 |
7 | Wawu | Minggu Wage | 354 |
8 | Jimakir | Kamis Pon | 355 |
Total | 2.835 |
Pada awal diterapkannya kalender Jawa pada tahun 1555 Masehi (Jawa Islam), tanggal 1 Sura pada tahun Alip selalu jatuh pada hari Jumat Legi. Namun, untuk menyesuaikan siklus bulan yang sebenarnya, setiap kurup (periode 120 tahun atau 15 windu) menghilangkan 1 hari. Saat ini, tanggal 1 Sura tahun Alip jatuh pada hari Selasa Pon, sehingga siklus ini dikenal sebagai "kurup Alip Selasa Pon" atau "kurup Asapon."
Rumus | arti |
---|---|
Parluji | Sapar telu siji (3-1) |
Nguwalpatma | Rabiulawal papat lima (4-5) |
Ngukirnemma | Rabiulakhir enem lima (6-5) |
Diwaltupat | Jumadilawal pitu papat (7-4) |
Dilkirropat | Jumadilakhir loro papat (2-4) |
Jeplulu | Rejeb telu-telu (3-3) |
Banmalu | Syaban lima telu (5-3) |
Lannemro | Ramlan (Pasa) enem loro (6-2) |
Waljiro | Syawal siji loro (1-2) |
Dahroji | Dulkaidah loro siji (2-1) |
Jahpatji | Dulhijjah papat siji (4-1) |
Dalam satu windu pada kurup Asapon, terdapat delapan nama tahun dan tanggal 1 Sura jatuh pada hari-hari tertentu. Setiap nama tahun memiliki arti dan konsep filosofis yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia. Jumlah total hari dalam satu windu adalah 2.835, yang dapat dibagi dengan genap menjadi 35 hari pasaran.
Pada kalender Jawa, penghitungan hari pertama setiap bulan memiliki rumusan tersendiri. Rumusan ini memungkinkan orang untuk dengan mudah mengetahui hari pertama setiap bulan, berdasarkan rumus dan penghitungan hari dari 1 Sura. Penggunaan rumusan ini sangat membantu dalam menentukan tanggal penting, seperti awal Ramadan dan Idul Fitri.
Nama kurup | tahun mulai | tahun berakhir | jumlah tahun | 1 Sura tahun Alip pada hari |
---|---|---|---|---|
Alif Jam'iyah Lêgi | Alif 1555 | Jimakir 1674 | 120 | Jumat legi |
Alif Kamsiyah Kliwon | Alif 1675 | Ehe 1748 | 74 | Kamis Kliwon |
Alif Arba'iyah Wage (Aboge) | Jimawal 1749 | Jimakhir 1866 | 118 | Rabu Wage |
Alif Selasa Pon (Asapon) | Alif 1867J/1936M | Jimakir 1986 | 120 | Selasa Pon[4] |
Siklus kurup menjadi salah satu aspek penting dalam kalender Jawa. Meskipun kalender ini telah mengalami perubahan sistem seiring waktu, siklus kurup masih menjadi perhatian. Para ahli penanggalan terus mengamati keakuratan perhitungan kalender Jawa dengan kalender hijriyah atau lunar. Siklus 120 tahun ini berdampak pada pengaturan tahun kabisat, di mana tahun kabisat di kalender Jawa dan kalender Hijriyah berbeda. Kurup memiliki dampak dalam peribadahan dan perhitungan waktu dalam masyarakat Jawa.
Selain itu, kalender Jawa juga memiliki pembagian pekan yang unik. Pekan dalam kalender Jawa terdiri dari lima atau tujuh hari, dengan setiap hari memiliki simbolik tersendiri. Penentuan hari-hari pasaran dan pengaruh siklus pasaran juga mempengaruhi aspek budaya dan tradisi dalam masyarakat Jawa.
Dalam hal penampakan bulan, kalender Jawa memiliki interpretasi filosofis yang kaya. Tanggal-tanggal tertentu dihubungkan dengan tahap-tahap dalam kehidupan manusia, mulai dari kelahiran hingga kematian.
Perlunya Upaya Pelestarian Kalender Jawa
Meskipun kalender Jawa masih memiliki tempat penting dalam budaya Jawa, ada kemungkinan penggunaannya merosot seiring dengan perkembangan globalisasi dan modernisasi. Oleh karena itu, penting untuk mengupayakan pelestarian dan pengenalan kalender Jawa kepada generasi muda. Hal ini bertujuan untuk menjaga kehidupan dan relevansi warisan budaya yang berharga ini dalam era yang terus berubah.
Dengan memahami makna dan tradisi yang melingkupi kalender Jawa, kita dapat menghargai kekayaan budaya Indonesia yang unik dan beraneka ragam. Lebih dari sekadar alat penanda waktu, kalender Jawa merupakan jendela menuju sejarah, kepercayaan, serta nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa. Upaya untuk menghormati dan melestarikan kalender Jawa membawa kita pada pengenalan yang lebih mendalam terhadap identitas budaya yang kaya dan abadi ini.